Kesempatan Kedua
Oleh: M. Adib Susilo
Bulan penuh berkah kembali
menjumpaiku di peraduan. Saat bulir embun tak mampu lagi berlama-lama dalam
keheningannya. Ia menguap, menyatu dengan angin. Aku ingin menghabiskan sisa
hidupku yang tinggal sebentar tuk menjadi embun bagi orang-orang yang mengenalku.
Ini lah aku, dalam ketakberdayaanku menjalani takdir hidup. Aku hampir
menyerah. Putus asa dalam kubangan kegagalan yang tak ada habisnya. Namun Allah
masih memberiku kesempatan untuk sekali lagi membaktikan hidupku bagi
orang-orang yang menyayangiku.
Masih teringat air mata
ibu yang mengiringi kepergianku. Saat kuputuskan meninggalkan rumah demi
melanjutkan hidupku. Meninggalkan adik dan kampung halamanku. Tiga tahun telah
berlalu, dan aku merindukan mereka. sangat.
“Jangan pergi anakku, kamu
lah satu-satunya harapan ibu. Ibu sudah kehilangan Ayahmu, sekarang Ibu tak
ingin kehilangan dirimu. “ kata-katanya kala itu.
“Kak, jangan tinggalin
Nadia sendiri,” rengek gadis kecil di samping ibu. Namun, hati ini telah lelah
untuk hidup dalam kekurangan. Dengan keinginan kuat merubah nasib, aku pun
pergi membiarkan kenangan-kenangan masa laluku tertinggal bersama jejak-jejak
langkahku.
Kini tangisan dan rengekan
itu menjelma rintihan mimpi dalam tidurku. Menghantui setiap detik yang
berlalu. Aku menyesal dulu pernah meninggalkan mereka untuk mengejar sebuah
mimpi di kota. Mimpi yang penuh dengan tipu daya yang melenakan setiap manusia.
Di perantauan, aku tak
pernah tahu, atau mungkin tak pernah ingin tahu. Bahwa adik dan ibuku sangat
membutuhkan keberadaanku. Keberhasilan yang kuraih telah membuatku terlena.
Menjadikanku seorang pekerja tanpa kenal lelah. Aku lalai menjalankan
kewajibanku terhadap Sang Pemilik Kehidupan, hingga dalam kesenangan dan
keberlimpahan harta. Aku ditegur oleh-Nya, Dzat yang Maha Memberi Rizki.
Aku sakit-sakitan, tubuhku
kurus ringkik tak berdaya, semua hartaku di bawa pergi pembantu. Semua usahaku
dipindah tangan oleh rekan kerjaku. Dan Aku dibuang ke sebuah desa antah
berantah yang tak kukenal. Hingga aku bertemu gadis bernama Okta Novitasary. Ia
lalu membawaku tinggal di rumah sederhana namun cukup luas untuk ditinggali
sendiri.
“Kak Okta sudah pulang,
Kak Okta sudah pulang!” teriak seorang anak seraya menghampiri gadis itu. Lalu
tak berselang lama, anak-anak lainnya berhamburan mengelilingi Okta dengan
wajah polos mereka.
“Sudah pada makan semua?”
tanya Okta pada anak-anak yang dijawab serentak dengan gelengan kepala.
“Kalau begitu, ini kak
Okta bawain oleh-oleh. Dibagi yang rata yah.” Katanya seraya mengeluarkan
sebungkus hitam nasi.
“Kamu tinggal sendirian
dengan anak-anak itu?” tanyaku padanya. Ketika semua anak-anak kembali ke kamar
untuk mengisi perut mereka yang kosong.
“Iya. Hanya itu yang bisa
kulakukan untuk mereka. Mereka adalah
orang-orang yang dibuang keluarga, hidup di tengah-tengah kerasnya Jalanan.
Keberadaan mereka tak pernah diharapkan masyarakat. Dan aku mengumpulkan mereka
di sini. Setidaknya, mereka punya tempat untuk kembali.” Jelasnya seraya
tersenyum. Lalu meninggalkanku sendiri di ruangan.
Aku merenungi kembali atas
apa yang selama ini kulakukan. Banyak di luar sana, orang-orang yang
kehidupannya tak pernah diharapkan oleh orang tua, sedangkan aku? Aku telah
menyia-nyiakan keluargaku di kampung halaman. Hatiku terhenyak, tangisku
meleleh. Aku telah berdosa pada keluargaku. Aku ingin kembali ke mereka. Aku
ingin mencari mereka.
“Sebentar lagi berbuka,
ayo. Bersihkan dulu badanmu, mari ......,” kata-katanya terputus. Aku baru
teringat kalau kami belum saling kenal.
“Adib, panggil saja Adib”
jelasku. Ia pun menuntunku berjalan.
Malam hari rumah itu ramai
dengan lantunan ayat-ayat suci Al-qur’an, hatiku tentram mendengarkan bait demi
bait yang menyentuh kalbu. Aku merindukan ini semua, dulu ibu lah yang
mengajarkanku membaca Al-qur’an. Telah lama aku tak membacanya.
Aku mulai belajar
mendalamai kembali ajaran agama pada Okta, belajar arti hidup dari seorang
Okta, yang ku tahu belakangan adalah anak orang berada namun kedua orang tuanya
telah tiada. Meninggal dalam sebuah kecelakaan. Ini rumah neneknya. Ia ingin
menjadikan rumah neneknya sebagai tempat bernaung anak-anak yang tak punya
tempat tinggal. Sedang ia bekerja di perusahaan peninggalan almarhum ayahnya.
Meski ia adalah pemilik perusahaan, ia tak mau menjadi pemimpin perusahaan,
setidaknya untuk saat ini. Ia ingin memulai semuanya dari bawah. Seperti
kebanyakan orang memulai kerja.
“Kau punya rumah? Apa
keluargamu tidak mencarimu, bila kau tidak pulang ke rumah?’” tanyanya suatu
ketika.
“Yah, aku punya. Di kota, punya perusahaan juga. Tapi semua
itu kini telah diambil dariku, mungkin itu teguran buatku karena telah
melupakan Tuhan. Entah lah. Aku memiliki keluarga di kampung halaman, tiga
tahun yang lalu aku meninggalkan Ibu dan Adikku. Aku malu bertemu mereka,”
kenangku.
“Allah masih menyayangimu,
Mas. Memang, kita sering menganggap kesulitan dan kekuarangan itu sebagai
ujian. Padahal sebenarnya, kesenangan dan nikmat itu juga merupakan ujian yang
berat. Sekali saja terlena, maka kita akan sulit kembali ke Jalan-Nya. Seperti
yang Mas alami mungkin,”
Dengan nasehat Okta, aku
pun meminta bantuannya untuk mencarikan keberadaan keluargaku. Karena aku tak
mungkin bisa melakukan perjalanan jauh dengan kondisiku kini. Hari demi hari
berlalu, dan tak ada kabar dari orang suruhan Okta. Aku hampir putus asa. Namun
gadis itu selalu menguatkanku.
Hingga tibalah sebuah
surat, aku membacanya. Itu dari orang suruhan Okta. Perlahan kubaca. Dan
ternyata ketakutanku selama ini menjadi kenyataan. Ibu dan adikku kini telah
pindah, rumah yang dulu kutempati sekarang sudah berpindah tangan. Dan keluarga
yang menempatinya tidak tahu ke mana pemilik yang lama pergi. Oh Tuhan,
Ujian apa lagi yang akan hamba terima... batinku.
“Mas, jangan bersedih.
Masih ada kami di sini. Kami adalah bagian dari keluargamu sekarang. Untuk itu,
biarlah takdir yang akan mempertemukan Mas dengan keluarga Mas. Tinggallah
disini, dan kita bangun anak-anak ini menjadi anak-anak yang berguna kelak.
Mungkin Allah juga yang telah mengatur pertemuan kita. Agar Mas memiliki
kesempatan kedua untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab pada keluarga.
Ini ujian bagi Mas, apakah akan mengambil jalan yang sama seperti dulu.” Gadis
itu menguatkan hatiku.
“Tapi, aku takut
memberatkan kalian. Dengan adanya diriku, berarti akan semakin banyak beban
yang akan kau tanggung Okta,” kataku menyela,
“Itu tidak akan terjadi,
bila kau masih memiliki keinginan bekerja. Aku akan selalu ada untukmu. Kita
tanggung semua ini bersama-sama. Bila tidak kita, siapa lagi yang akan
memperhatikan nasib mereka.” jawabnya seraya tersenyum. Senyum penuh ketulusan.
Perlahan aku mulai
beradaptasi dengan keluarga baruku. Banyak nama-nama yang harus aku ingat. Tapi
aku bahagia. Hidup di tengah-tengah mereka dengan segala kekuranganku. Aku
berjanji aku akan berusaha untuk terus hidup. Untuk terus memiliki semangat
bekerja, demi anak-anak, demi Okta, dan demi hidupku bersama mereka agar tak
menjadi beban di suatu hari nanti. Sekali lagi aku ingin hidup untuk
memperbaiki kesalahan di masa laluku.
“Kak Adib, biar Rony saja
yang ngerjain. Biar kakak istirahat.” Seraya mengambil baju yang ingin aku
cuci.
“Terima kasih Rony, tapi
biarlah kak adib yang ngerjakan yah.. Kamu anak baik. Mungkin kamu bisa tolong
Kakak, bawakan bajunya ke belakang,” pintaku padanya.
“Cepat ke sekolah, ini
hari pertamamu kan?” ia mengangguk, tersenyum, lalu pergi. Syukurlah aku masih
bisa melihat kebahagiaan di mata mereka. Masih banyak anak-anak yang nasibnya
seperti mereka, harus putus sekolah karena alasan klasik. Biaya sekolah yang
tinggi. Seperti dulu, saat Ibu tertatih-tatih membiayai sekolahku. Kenangan itu
hinggap kembali.
Aku, masih merindukan
mereka. Ada penyesalan yang dalam di hati ini. Namun apa lah daya hamba. Yang
bisa kulakukan sekarang hanyalah berdo’a untuk keselamatan dan kebahagiaan
mereka berdua, di mana pun mereka berada. Aku memohon pada Allah, agar
dipertemukan lagi dengan mereka sebelum aku dipanggil menghadap-Nya. Biarlah
hidup mengalir sesuai takdirnya. Aku ingin belajar berbagi bersama Okta dan
anak-anak di rumah ini. Dengan kemampuanku, aku mengajari mereka sebuah hal-hal
baru yang pernah aku alami di kehidupanku. Aku membagi semua kisahku pada
mereka, agar tiada lagi anak-anak seperti mereka yang bernasib sama denganku.
Terima kasih Okta, engkau lah sumber inspirasiku. Engkau lah penguat jiwaku.
Semoga aku bisa menjadi embun bagi tunas-tunas jiwa yang keberadaanya tak
pernah diakui oleh masyarakat.
Langit Kota Atlas, 2013
M. Adib Susilo, Penulis lahir di Lamongan, 6 Juli 1991. Anak kedua dari empat bersaudara.
Hobinya adalah membaca dan menulis dan sekarang memiliki hobi baru sebagai
peresensi buku. Masih menjalani aktivitas kuliah di IAIN Walisongo Semarang.
Coretan-coretannya masih butuh banyak perbaikan, kritik dan saran yang membangun.
Dan Alhamdulillah beberapa karyanya, Purnama di Kota Atlas
(dibukukan dalam Antologi Cerpen Mutiara Berdebu), Rumah
Kertas (dimuat Majalah Santri), Puing Kelam Kota Lama dan
Langit Muram di Atas Tanah Tak Bertuan (dimuat di Majalah Magesty).
Puisi Parade Mimpi di Negeri Dongeng pernah dimuat di Media
Mahasiswa dan Puisi Embun Pun Kehilangan Tempat Berpijak dimuat
di Eramadina. Selain itu coretan-coretan penulis bisa di akses di blog penulis http://telagainspirasiku.blogspot.com/ . untuk menghubungi penulis, bisa melalui email adibsusilo2011@gmail.com atau akun Facebook M
Adib Susilo
Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari para pembaca, agar bisa memperbaiki kualitas tulisan penulis menjadi lebih
baik lagi. Serta harapannya semua komentar yang ada akan melatih dan melecut
semangat penulis untuk terus berkarya. Salam Karya!
Link: http://www.flp-semarang.blogspot.in/2013/07/4-kisah-ramadhan-pejuang-pena-semarang.html
0 comments:
Post a Comment