Hujan Bertutur Rasa
Setitik air tak kan terasa,
Berbaur raga penuh lelah
Namun, Hujan Berbeda
Karena ia istimewa
Hujan bertutur rasa
Bercerita ria tentang kisah-kisah manusia
Ribuan masa terlampaui
Tanpa sepenggal pun terlewati
Seperti hujan di hari ini
Berbisik lirih pada diri yang terpasung di jendela besi
Tentang anak manusia penjual roti
Menjejal tanah bertelanjang kaki
Hujan tahu apa yang tersembunyi
di dalam hati ia merintih
Meski senyum senantiasa menghiasi
Karena hidup begitu berarti
Tak pernah ia mengeluh keadaan diri
Karena hidup senantiasa diuji
Do’a bergemuruh di bibir dan hati
Tangan tiada berhenti berdzikir sunyi
Berharap hujan berhenti bernyanyi
Tuk melanjutkan amal ibadah dan menjemput rizki
Agar asap rumah tiada berhenti
Hingga berbakti pada Ibu yang menanti
Semarang, 2012
Melodi Senja di Bukit Barisan
Beribu kata tak terperih, terucap lirih menghujam hati
Tersiar kabar berpilin do’a dan sedih
Menyapa siang di keheningan sunyi
Pada jiwa yang menepi
Senja itu kini kehilangan saksi
Terburai semburat pilu pada bumi
Di bawah langit tempatnya bernaung diri
Tatapan sendu tiba-tiba menghiasi
Retak bumi menganga
Memisah rumah dengan tanah
Melerai pohon beserta akar yang gigih
Menggebrak beton berpuing-puing, laksana kapas yang terhempas
Telah jelas tanda kekuasaan-Nya
Bagi insan dengan segala kerendahan hati
Tuk bernalar mengeja bencana
Mengais hikmah dibalik kejadian ini
Melodi senja terdengar lirih mengiris sanubari
Terlihat di kejauhan tanah bukit barisan yang menjadi saksi
Tanda-tanda alam yang terulang dan tak pernah berhenti menghampiri
Sebagai peringatan pada diri untuk berintropeksi
Tuhan Maha Kuasa,
Manusia, Gunung, Lautan, dan Bumi adalah Ciptaan-Nya
Tak kan ada yang bisa menghindar dari takdir-Nya
Hanya do’a, amal ibadah, dan Mengingat-Nya lah Jalan terbaik tuk bersiap menghadap
ke Sisi-Nya.
Berpayung Awan Mendung Langit Kota Semarang,
2013
Waktu Menikam Aku
Jangan pernah merasa,
Hidup hanya untuk bersantai, kawanku.
Karena kita tak kan pernah tahu,
Apa yang disembunyikan takdir dari waktu
Aku mulai menghitung waktuku
Mengakumulasi dengan kata-kata
Lalu mengurangi dengan waktu yang terbuang sia-sia
Dan yang tersisa belum lah termasuk untuk mengingat-Nya
Banyak manusia sepertiku
Terlena kenikmatan semu, lalu ditikam waktu
Harta sirna tanpa berguna, umur berkurang tanpa manfaat pada sesama
Hingga raga pun tergerogot lelah pada hidup yang tak biasa.
Kepasrahan bersemayam dengan kuasa
Waktu menghempas keras manusia yang mengacuhkannya
Takdir menampakkan wajah,
Hanya kembali kepada-Nya lah yang akan menyelamatkan hidup sebelum
terlambat
Karena waktu tak kan kembali
Sebab waktu tiada terulang dua kali.
Di bawah Langit Malam Kota Atlas, 2013
M. Adib Susilo, Lahir di Lamongan 06 Juli 1991. Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang.
Anggota Forum Lingkar Pena Semarang. Dan tergabung dalam Gerakan Santri Menulis
angkatan Ke-19.
Karyanya telah dimuat di beberapa media, Purnama di Kota
Atlas (dibukukan dalam Antologi Cerpen Mutiara Berdebu), Rumah
Kertas (dimuat Majalah Santri), Mentari Tenggelam di Wajah Ayah,
Puing Kelam Kota Lama dan Langit Muram di Atas Tanah Tak
Bertuan (dimuat di Majalah Magesty). Puisi Parade Mimpi di Negeri
Dongeng dimuat di Media Mahasiswa, Puisi Peluh dalam Kata, Kala
Sajak Sunyi Menyapa, Aku dan Kehidupan dimuat di WAWASANews, Puisi Hujan
Bertutur Rasa, Melodi Senja Bukit Barisan, Waktu Menikam Aku (Radar
Seni) dan Puisi Embun Pun Kehilangan Tempat Berpijak dimuat di
Eramadina.
Link: radarseni.com/2013/07/21/m-adib-susilo/
0 comments:
Post a Comment