RSS

Siluet Jingga

Selamat Datang di Telaga Inspirasiku....
Semoga kalian menikmati dan menemukan beribu Hikmah di Setiap Jengkal Telaga Inspirasiku..

Join This Site and Load The Guess Book


Kau dan Aku Terlahir Berbeda

Kau Dan Aku Terlahir Berbeda
Raihan Alam
Hujan turun di atas langit muram, bersama awan gelap yang senantiasa menggelayut di tempatnya kini. Bocah kecil dengan kaki telanjang berlari menerobos derasnya air hujan, hawa dingin menusuk kulitnya yang hanya di lapisi sehelai kain tipis yang sudah sobek disana-sini. Ia terus berlari tanpa menghiraukan tubuhnya yang mulai kedinginan. Ia menggenggam erat sebungkus plastik hitam agar tidak basah. Ia menuju rumah sederhana yang terletak di ujung jalan setapak. Rumah antar rumah jaraknya berdekatan dan kondisinya sama. Sama-sama sederhana. Bocah kecil itu menyerbu masuk dan menghampiri Ibunya yang terbaring di kasur tipis yang mulai luntur warnanya. Ia berikan sebungkus plastik hitam yang sedari tadi ia lindungi dari terpaan hujan yang membasahi badannya. Perempuan itu bangun dan bersandar di ujung kasur.
“Kamu dapat uang ini dari mana Nak?” tanya perempuan itu.
“Deni hari ini mendapat rezki lebih Bu. Jadi Deni bisa membelikan obat buat Ibu. Obat Ibu kan dua hari yang lalu sudah habis.” Bocah kecil itu bernama Deni. Badannya kecil, kulit sawo matang dengan rambut cepak. Sebagai seorang anak, ia senantiasa berbakti pada perempuan yang telah melahirkannya itu.
“Terima kasih Nak. Kamu sudah banyak sekali membantu Ibu. Ma’afkan Ibu yang tak mampu membahagiakanmu. Tak mampu menyekolahkanmu. Kamu masih punya cita-cita untuk sekolah kan Nak?” Ibu menatap Deni lekat-lekat. Dilihatnya wajah anaknya itu, air matanya meleleh bila teringat kejadian di masa lalu. Terutama bayangan kematian suaminya akibat kecelakaan saat bekerja menjadi sopir. Pasca itu, kehidupannya semakin terpuruk. Ia tak mampu lagi membiayai sekolah dua anaknya. Hingga akhirnya mereka putus sekolah. Kontrakan nunggak dan diusir dari rumah kontrakan. Deni, anak keduanya sehari-hari bekerja sebagai pengamen jalanan. Mengais rezki dari belas kasihan orang lain. Anak pertamanya, semakin tak karuan. Ia tak pernah ada di rumah. Ia pulang bila ia sedang butuh uang saja. Hatinya sedih. namun inilah takdirnya. Ia harus mampu menghadapi semua ini dengan tabah dan sabar.
“Deni masih tetap pingin sekolah Bu. Tapi Deni lebih bahagia bila melihat Ibu bahagia. Masalah sekolah tidak usah dipikirin Bu. Deni sudah menyisihkan sebagian uang hasil mengamen setiap hari untuk nantinya Deni gunakan melanjutkan sekolah.” jelasnya. Ia memang berbeda dari kakaknya yang sehari-hari kerjanya hanya menadah hasil mengamen anak-anak jalanan. Pernah suatu ketika Deni memergoki kakaknya itu merampas hasil keringat teman-temannya. Dan ia pun dibuat babak belur oleh teman-teman kakaknya. Dalam hati kecilnya, Deni masih berkeinginan untuk melanjutkan sekolahnya. Tapi ia tak mau berharap tinggi-tinggi. Tercukupinya biaya hidup sehari-hari Ibu dan dirinya sudah sangat membahagiakan hatinya. Ia tahu, hasil mengamen di jalanan tidaklah cukup untuk melanjutkan sekolah. Apalagi biayanya semakin hari semakin mahal. Meskipun sudah banyak beasiswa yang diperuntukkan bagi anak-anak sepertinya, namun dalam kenyataannya pembagian anggaran untuk pendidikan tersebut tidaklah merata. Ia hanya akan menunggu datangnya keajaiban itu, dengan nestapa. Bagai punguk merindukan bulan.
“Nak, cepet ganti baju sana. Jangan sampai kamu kedinginan.” suara Ibu membuyarkan lamunan Deni yang sedari tadi mematung dengan baju basah yang masih melekat di tubuhnya. Ia lalu bergegas masuk kamar, berganti pakaian dan kembali ketempat Ibunya untuk menemani.
“Nak, apa kamu tadi ketemu kakakmu?” tanya Ibu ketika Deni duduk disampingnya.
“Tidak Bu, beberapa hari ini Deni tidak melihat kakak. Sudah Deni cari ke tempat-tempat tongkrongan yang biasanya dijadikan tempat berkumpul kakak dengan teman-temannya. Tapi belum juga ketemu.” jawab Deni sedih. Sudah beberapa hari ini Ibu memikirkan kakak Deni. Ibu ingin bertemu dengan kakaknya. Ia merindukannya. Sebagai seorang anak pertama, kakak Deni sangat diharapkan oleh Ibu untuk bisa membantu adiknya dan keluarganya.
“Nanti kalau ketemu kakak kamu, bilang Ibu kangen sama dia. Ibu ingin ketemu.” kata Ibu dengan nada pilu.
“Iya Bu. sekarang Ibu istirahat yah. Biar Ibu sembuh.” Deni berlalu meninggalkan Ibunya yang terlelap dalam keheningan. Dalam balutan rindu akan anaknya yang tak kunjung datang.
Deni melangkahkan kaki ke jalan setapak, melewati terowongan kecil yang gelap. Dan tibalah ia di perkampungan padat penduduk. Di samping kanan kirinya berdiri cafe-cafe kecil yang menyuguhkan beribu minuman keras dengan berbagai jenis. Serta gadis-gadis pelayan yang dengan sigap memenuhi permintaan para tamunya.
Ia menuju cafe kecil yang terlihat paling jarang dikunjungi tamu. Hanya ada beberapa orang yang menenggak bir. Dengan berbincang-bincang sesamanya.
“Kak, Ibu ingin kakak pulang....” ucap Deni seraya menepuk bahu kanan kakaknya. Laki-laki itu menoleh. Ia terkejut melihat adiknya telah berdiri di belakangnya.
“Berapa kali harus kakak bilang! Kakak tidak mau pulang! Bilang itu pada Ibu!” bentak lelaki itu. bau alkohol menyembur dari mulutnya.
“Tapi kak. Ibu rindu sama kakak. Ayo kak, sekali ini saja!” Deni tak mau kalah.
“Pulang sendiri sana! Bilang sama Ibu, jangan cari-cari kakak lagi! Anggap saja kakak sudah mati!” kalimat itu meluncur dari mulutnya yang teracuni oleh botol bir yang dipegangnya. Lelaki itu mendorong Deni hingga terjerembab di tanah. Deni bangkit. Dan mendekati tubuh lelaki itu.
“Kenapa kakak berbicara seperti itu? Bukankah dulu kakak yang paling sering menghibur Ibu? Kenapa kakak berubah setelah kita jatuh miskin?”
“Kau dan Aku berbeda Deni! Aku tidak mau jadi orang miskin. Aku ingin bebas! Aku ingin pergi kemanapun yang aku mau, tanpa kalian bebani!”
“Kakak keterlaluan, apa kakak tidak merasa kasihan melihat Ibu seperti sekarang. Tak berdaya melihat keadaan keluarga kita yang semakin hari semakin susah. Sudah menjadi kewajiban kita sebagai anak-anaknya untuk membalas budi Ibu, yang sudah mengandung dan melahirkan kita. Yang sudah merawat kita sampai seperti ini.”
“Balas budi katamu? Untuk apa? Toh, aku disini bisa hidup dengan usahaku sendiri. Bukan hasil meminta-minta dari Ibu. Memang pernah sih, sekali dua kali. Tapi kakak kan terpaksa.” Ujarnya dengan santai.
“Kakak jahat! Kakak tega membiarkan Ibu sakit! Kakak tidak punya hati nurani! Deni benci kakak!”
Deni berlari keluar cafe dengan uraian air mata. Hatinya terpukul melihat kakaknya kini bukan seperti dahulu, yang selalu memberikan semangat pada Deni untuk terus sekolah. Ia melewati terowongan. Lalu memasuki rumah dengan hati-hati agar tidak membangunkan Ibunya yang sedang istirahat.
Ia merebahkan punggungnya di papan kayu tempatnya bersandar di kala malam. Ia merenungi setiap kejadian yang telah ia lewati hari ini. Betapa kejam hidup ini. Betapa marah dan sedih ia melihat tingkah laku kakaknya kini, yang seharusnya menjadi panuatannya dalam menjalani hidup. Perlahan ia mulai memejamkan mata. Hingga semua kesadarannya larut dalam kesunyian malam itu. Binatang-binatang malam keluar dari sarangnya. Menguasai pekatnya kehidupan.
“Ibu,Deni berangkat dulu yah. Do’akan Deni semoga hari ini Deni dapat rezki lebih. Deni pamit....” katanya seraya mencium tangan Ibunya.
“Amiin.... hati-hati di jalan ya Nak,” kata Ibu melepas kepergian Deni. Ia ikuti pandangan matanya melalui langkah-langkah Deni hingga benar-benar hilang.
Braaaakkkkk!!!!! Suara daun pintu terbanting. Seorang lelaki telah berdiri di sana dengan pandangan tajam menghujam dalam. Menyebarkan pandangannya mengelilingi seisi rumah.
“Anakku, kemana saja kamu selama ini. Ibu kangen kamu....” Ibu berlari menghampiri lelaki itu. dan berusaha mendekapnya. Namun tidak disangka ia menampik tubuh Ibunya dan perempuan itu tersungkur tak berdaya. Tubuhnya mencium tanah. Lelaki itu berjalan ke sebuah lemari kayu yang terongok di sudut ruang tamu. Ia mengobrak-abrik isi di dalamnya.
“Kamu mencari apa Nak? Ibu sudah tidak punya apa-apa lagi,”teriaknya.
“Mana uang tabungan Deni Bu? Ibu simpan dimana?” kata lelaki itu dengan nada tinggi.
“Ibu tidak tahu Nak, buat apa kamu meminta uang adikmu. Itu kan hasil keringatnya sendiri. Kamu tidak berhak untuk mengambilnya.” kata Ibu mengingatkan.
“Jangan banyak ceramah deh Ibu! Cepetan, katakan dimana Deni menyimpan uang tabungannya!” bentak lelaki itu pada Ibunya. Ia mengumpat tak karuan. Barang yang diinginkannya tak juga dia temukan.
“Kalau memang Ibu tidak mau memberitahukannya padaku. Biar aku yang akan memaksa Deni untuk buka mulut!” sungutnya. Ia pun berlalu meninggalkan Ibunya yang terkapar di tanah. Tak berdaya melihat anak yang dirindukannya pergi dengan membawa amarah didada. Ia kini mengkhawatirkan Deni. Ia tak henti-hentinya berdo’a agar Deni dilindungi dari segala bahaya yang mungkin saja dapat di perbuat oleh anak pertamanya itu. Ia tahu anaknya itu akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hal yang diinginkannya. Apalagi uang. Hatinya miris, bercampur irama yang naik-turun tak karuan.
Di pertigaan lampu merah, ketika Deni sedang mengamen, tiba-tiba lelaki itu menyeret tubuh Deni ke ruang kosong yang jauh dari keramaian. Ia mencengkram leher Deni.
“Mana uang tabungan hasil kerjamu selama ini? Berikan padaku! Aku butuh uang!” dengusnya.
“Apa-apaan kakak ini, aku tidak punya uang yang kakak bicarakan itu. Uang Deni semuanya sudah Deni gunakan untuk biaya pengobatan Ibu.” jawab Deni mengelak.
“Jangan bohong kamu! Kakak akan beri kamu pelajaran, karena berani melawan kakak!”
Brukk!!! Bakkkk!!! Hantaman demi hantaman bersarang di tubuh mungil Deni. Lelaki itu tanpa ampun melayangkan bogem mentahnya ke arah Deni. Membuatnya terkapar bersimbah darah. Ia menendang kaki deni, hingga terdengar suara tulang deni yang patah. Lelaki itu terus menghajar deni hingga tak berdaya. Setelah puas melampiaskan amarahnya. Ia pun akhirnya pergi meninggalkan adiknya itu. Pergi tanpa dosa dan perasaan bersalah. Teman-teman Deni yang melihat kejadian tersebut langsung menggotong tubuh Deni yang penuh luka. Menuju rumah sakit terdekat. Namun sekali lagi, kemiskinan kadang membuat mereka harus menelan pil pahit, mereka ditolak dan terpaksa mereka harus mencari klinik yang bersedia menerima orang miskin seperti mereka.
Setelah berajam-jam akhirnya Deni mendapatkan perawatan medis. Ibu Deni langsung bergegas menuju klinik begitu diberitahu bahwa anaknya itu digebuki oleh kakaknya di jalan. Ia cemas. Karena kini hanya Deni lah satu-satunya harapan bagi kebahagiaan hidupnya.
Deni dibawa pulang. Ia kini harus menerima kenyataan bahwa salah satu kakinya lumpuh karena tulangnya patah. Namun ia tetap tegar dan sabar, ia meyakinkan Ibunya bahwa hanya dengan satu kaki yang tersisa ia masih mampu mencari nafkah seperti sebelumnya. Ia juga akan terus berusaha mewujudkan mimpinya untuk melanjutkan sekolah. Ia berterima kasih pada Ibunya karena telah menjaga uang tabungannya selama ini dari nafsu serakah kakaknya, yang tega membuatnya seperti ini. Yang tega membiarkan mereka menderita.
“Ibu bangga padamu Nak, Ibu bahagia memilikimu....”
“Deni akan tetap berusaha mengajak Kakak pulang ke rumah ini lagi Bu,”
“Kalau memang kakakmu itu tidak mau pulang, biarlah ia menjalani hidupnya di luar sana. Mungkin itulah yang di inginkannya. Ibu tidak akan memaksanya lagi. Bagi Ibu, keselamatanmu adalah hal yang paling berharga dalam hidup Ibu.” katanya dengan nada kepasrahan. Deni merasakan ada bias kecewa di mata ibunya itu terhadap sosok kakaknya yang memang sudah sangat keterlaluan.
“Tidak Bu, selama Deni masih bisa berjalan. Deni akan selalu menepati janji Deni pada Ibu.”
“Kamu memang anak Ibu yang paling berharga. Ayah di atas sana pasti tersenyum bahagia melihatmu seperti sekarang. Tumbuh menjadi anak yang bertanggung jawab. Seperti Ayahmu. Kamu dan Kakakmu memang terlahir berbeda.” Ia memandang Deni dengan mata berkaca-kaca. Ia takjub melihat perkembangan anaknya itu.
Di atas hamparan aspal jalanan, ditempa kerasnya rintangan yang menghadang, serta dibayang-bayangi pergaulan anak jalanan yang semakin menjadi, Deni mampu menjadi pembeda di antara teman-teman seprofesinya. Ia bagai ilalang di Padang Pasir. Yang mampu bertahan hidup di tengah panasnya udara yang membakar.
Hari-hari berikutnya dilalui Deni dengan ceria. Ia tak mau menampakkan wajah sedih di depan Ibunya, meskipun ia sering menagis bila melihat keadaannya kini. Teman-teman seperjuangan Deni menerima keadaan Deni yang cacat. Mereka semakin berempati terhadap Deni. Mereka tak henti-hentinya membantu Deni untuk terlepas dari kesedihan yang dirasakannya. Hidup yang kini dalam keterbatasan tak lantas membuat Deni patah semangat. Ia malah terpacu untuk membuat kakaknya tersebut sadar bahwa yang dilakukannya selama ini adalah kesalahan. Dalam hati kecilnya, Deni memiliki harapan agar suatu saat nanti kakaknya mendapatkan hidayah dari Tuhan dan ia kembali ke jalan yang benar. Dan tentunya kembali berkumpul bersama mereka seperti sedia kala. Sebagaimana yang dirindukan oleh Ibu selama ini. Ia tidak ingin melihat Ibunya yang semakin tua dan semakin lemah, hidup dalam kesedihan dan kesendirian. Merana karena ditinggalkan buah hatinya yang seharusnya menjadi pelita hati seorang Ibu. Sebuah harapan mulia dari seorang bocah yang berkeinginan untuk membahagiakan seorang Ibu.
Semarang, 17 Desember 2011

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment