By : Raihan Alam
Awan bergumul membentuk sebuah lukisan di langit biru. Sisa-sisa
hujan membekas dalam pancaran pelangi yang membentang jauh menancap bumi. Gemerlap
lampu kehidupan kota Atlas menjadi sebuah pemandangan yang kontras dengan
kehidupan jalanan yang selalu membayangi. Seorang lelaki tua mengayuh sepedanya
ke sebuah rumah kecil berdinding papan yang dihiasi dengan kertas-kertas warna.
Dilihat dari jauh rumah itu bagaikan istana kertas yang bersembunyi di bawah
sebuah jembatan tua. Banyak warga miskin sepertinya yang tak punya tempat
berteduh dan terpaksa hidup di kolong jembatan. Mereka menyulap kolong jembatan
yang kotor menjadi tempat tinggal yang nyaman serta menghiasi dindingnya agar
mereka betah tinggal disana. Sebuah langkah kaki kecil mendekatinya. Lelaki tua
itu tersenyum.
“Bapak sudah pulang. Ibu, Bapak pulang....” teriaknya girang. Gadis
kecil itu memeluk erat dalam dekapan bapaknya.
“Ibu mana? Dinda sudah makan?” tanya lelaki itu. Gadis kecil
bernama Dinda itu hanya bisa menggeleng pelan. Ada raut bias di mata lelaki
itu. Ia tahu, hari ini ia belum memberikan apa-apa untuk keluarganya. Ia
merogoh saku celananya. Berharap menemukan sesuatu untuk diberikannya pada
istri tercinta. Namun tiada yang dapat ia temukan, selain selembar uang lima
ribuan. Hasil dari menukarkan besi tua yang ia cari sehari ini. Ia sadar
pekerjaanya sebagai tukang besi tua tidaklah begitu menjanjikan. Ia tak akan
bisa mengangkat derajat ekonomi keluarganya. Ia pandangi sepeda tua yang setia
menemani perjalanan hidupnya, besinya sudah karatan. Beberapa bagian sudah aus
dan minta diganti. Tapi ia tak ada uang untuk memperbaikinya. Untuk kehidupan
sehari-harinya saja terkadang masih belum terpenuhi. Apakah nasib sepeda ini
nanti akan berakhir di penukaran besi tua. Pikirnya dalam hati. Sepeda itulah
penopang kehidupan mereka. Ia saksi bisu akan kerasnya perjuangan yang dialami
oleh penunggangnya. Orang-orang pinggiran seperti dirinya sebenarnya belum siap
menjadi orang kota karena modalnya pas-pasan. Bahkan seringkali dianggap
pemerintah sebagai sampah. Namun ia tak sanggup berbuat apa-apa. Yang ia bisa
hanyalah berdo’a dan berusaha.
“Pak Rohim. Bisa tolong bantu saya? Lampu di rumah mati, saya nggak
bisa benerin.” suara wanita muda membuyarkan lamunanya. Ia cepat-cepat merubah
posisi duduknya. Ia lalu mengikuti langkah perempuan itu. Rumahnya tak seberapa
jauh. Di kampung itu, Pak Rohim terkenal ramah dan suka menolong. Warga pun tak
segan untuk memintanya mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak mereka kuasai.
Malam semakin gelap, ketika Pak Rohim bercengkrama dengan anak dan
istrinya. Meski kehidupannya serba susah, ia tak pernah mengeluh. Ia selalu
memberi teladan bagi keluarganya, agar tetap bergembira meski dalam keadaan
sesulit apapun.
“Bu, seandainya Bapak menjual sepeda itu, lalu uangnya kita jadikan
modal untuk berdagang, menurut Ibu bagaimana?” tanya Pak Rohim pada istrinya.
Hal yang selalu membuat istrinya takjub adalah perilaku Pak Rohim yang santun dan
terbuka. Ia selalu mempertimbangkan suatu hal pada keluarga sebelum ia
mengambil keputusan. Sebuah kepala keluarga yang berjiwa besar.
“Ya, kalau menurut Bapak itu baik, Ibu manut saja Pak.” jawab
istrinya lembut.
“Begitu ya Bu. Kalau begitu nanti Bapak pikirkan lagi. Sekarang
kita tidur. Sudah larut malam.” mereka pun masuk ke rumah kertas. Tenggelam
dalam peraduan sunyi. Ditemani senandung nyanyian alam dari makhluk penguasa
malam.
* *
*
Pagi belum juga menampakkan sinarnya. Hawa malam masih terasa
menusuk kulit. Namun sepeda tua Pak Rohim sudah berdiri gagah menunggu
penunggangnya. Pak Rohim melajukan sepedanya menyusuri bantaran kali Semarang.
Jalan yang ia lalui lebarnya hanya sekitar tiga meter. Itu pun hanya mampu
dilewati oleh satu sepeda motor. Belum lagi bangunan yang terbuat dari papan
dan triplek yang berjajar sepanjang jalan. Terlihat sebagian orang sibuk
bolak-balik membongkar perabotan rumahnya. Mereka mengumpulkan barang-barang
mereka dalam gerobak. Pak Rohim menghentikan laju sepedanya. Ia menghampiri seseorang
yang tengah sibuk menumpuk kayu dan seng dalam sebuah karung besar.
“Ada apa ini Pak, kok pada bongkar-bongkar?” tanya Pak Rohim heran.
“Ini mau pindahan Pak. Takut digusur paksa oleh Satpol PP. Beberapa
kali mereka kesini memberi peringatan.” jawabnya lugas. Lelaki itu meminta izin
untuk menyelesaikan pekerjaannya. Pak Rohim menghela nafas. Dalam. Sudah sering
ia mendengar berita tentang penggusuran paksa dengan dalih penertiban. Ia
bingung mengapa pemerintah tak pernah memperhatikan nasib orang pinggiran
seperti mereka, yang butuh tempat tinggal. Mereka hanya bisa membongkar
perkampungan kumuh tanpa dapat memberikan solusi yang lebih baik. Tidak
menyediakan tempat gnati yang layak. Maka, jangan heran bila setiap kali
penertiban, akan ada kampung-kampung kumuh baru yang menjadi pelarian mereka. Pak
Rohim pun melanjutkan perjalanan. Di tengah-tengah jalan, pikirannya
berkecamuk. Ia takut hal yang sama terjadi pada warga di kampungnya. Ia tak pernah
berharap. Ia susuri lorong demi lorong. Melewati kanal yang memanjang,
menyajikan aroma tak sedap dari air yang kotor dan keruh. Dilihatnya sebuah
besi tua terongok di pinggiran kanal. Ia mencoba mengambilnya. Ia nyemplung
ke dalam air, berkubang dengan limbah dan sampah demi sebatang besi yang
beratnya hanya beberapa kilogram. Pak Rohim tak menghiraukan pandangan pejalan
kaki, maupun warga sekitar yang memandang sinis ke arahnya. Yang terpenting
baginya adalah hari ini ia bisa membawa pulang hasil jerih payah untuk anak dan
istrinya di rumah. Dengan celana yang basah, ia melanjutkan perjalanan.
Saat ia memasuki kawasan kota lama, ia melihat sebuah bangunan
tengah dalam masa renovasi. Dengan beberapa pekerja yang sedang mempoles
dinding luarnya. Ia mendekat, dan bertanya pada mandornya agar di perkenankan
untuk bergabung meski cuma sehari.
“Saya siap dibayar berapapun Pak, asalkan saya bisa bekerja disini
barang sehari” kata Pak Rohim meyakinkan. Ia memang butuh uang. Jadi apapun
akan ia lakukan selagi caranya halal. Dengan berat hati pak mandor
mengizinkannya.
“Besok lusa, kamu kesini lagi yah. Kami memang sedang mencari
pengganti seorang pekerja kami. Ini bayaranmu hari ini.” kata Pak mandor seraya
memberikan uang lima puluh ribu kepada Pak Rohim. Ia senang bukan kepalang,
seketika itu ia mencium tanah, bersujud sebagai bentuk syukur atas anugrah
Allah yang tak disangka itu. Ia pun berterimakasih lalu berlalu pulang. Ingin
ia cepat pulang dan memberikannya pada istri dan anak di rumah.
Selepas maghrib, Pak Rohim membicarkan lagi hal tentang menjual
sepeda dan niatnya untuk berdagang kecil-kecilan. Dengan rezki yang ia peroleh
hari ini, dan atas izin sang istri, ia pergi mencari tempat yang cocok buat
daganganya besok. Di pelataran masjid Baiturrahman lah tempat yang dipilih.
Malam itu juga ia mendirikan tenda, mencari kayu yang berserakan di
sekelilingnya. Untuk hari pertamanya berjualan, tak perlu besar. Cukup
sederhana saja. Yang penting ada niat.
“Loh, apa-apaan ini? Kok semuanya berantakan?” kata Pak Rohim
panik. Ia heran melihat paginya, tenda yang susah payah didirikan semalaman,
porak-poranda di robohkan orang. Ia bertanya pada pedagang samping
kanan-kirinya. Tapi tak ada yang tahu. Akhirnya ia terpaksa mendirikan kembali
bangunan itu.
Tiba-tiba dua orang preman mendatangi tendanya dan menggebrak meja.
“Hey! Bapak jangan seenaknya mendirikan jualan disini! Ini wilayah
kami! Jadi siapapun yang berjualan disini harus izin dulu sama kami! Juga harus
membayar uang sewa keamanan!” bentak dua lelaki itu. Pak Rohim tak mengerti apa
yang terjadi.
“Apa kalian bilang? Membayar? Dari dulu yang aku tahu, pelataran
ini tak ada pemiliknya. Aku sudah memastikan itu semalam. Dan kata pihak masjid
dibolehkan.” jelas Pak Rohim dengan nada tinggi. Tentu saja ia tak terima. Ia
merasa diperlakukan tidak adil. Ia merasa punya hak untuk berdagang di mana
saja.
“Jangan membangkang! Bayar atau kami hancurkan dagangan Bapak!”
“Silahkan kalau berani! Saya tidak takut!” Pak Rohim bersiaga.
Pak Rohim menghadang laju kedua lelaki itu, namun tak disangka beberapa
preman datang membantu dan meluluh lantakkan modal Pak Rohim yang baru saja
dibeli dengan uang hasil keringatnya. Dengan tanpa perasaan preman-preman itu
membanting barang dagangan yang belum sempat dijual. Lalu mereka pergi setelah
puas membuat Pak Rohim babak belur. Tak ada yang berani mencegah. Apalagi
menolong. Hati Pak Rohim terenyuh melihatnya. Kenapa setiap orang membiarkan
ketidak adilan ini. Apa meraka pura-pura tidak tahu, agar keselamatan mereka
terjamin. Sungguh biadab orang-orang seperti mereka. Pak Rohim merintih
kesakitan.
Alhamdulillah, di hari pertamanya berjualan, Pak Rohim mampu mengantongi penghasilan uang yang bisa digunakannya untuk
menyambung hidup keluarga. Istrinya memperhatikan wajah Pak Rohim yang hitam
lebam di beberapa bagian.
“Bapak habis di keroyok preman yah? Kok luka-luka?” tanya istrinya
penuh selidik. Ia menyentuh lembut dagu lelaki itu. mengusapnya pelan.
“Nggak apa-apa Bu, cuma sedikit kesalah pahaman.” jawabnya enteng.
Ia lalu duduk di luar rumah. Memandang jauh ke arah langit malam. Kini tak ada
lagi sepeda tua yang menghiasi istana kertasnya. Tapi tak apa lah, ia
ikhlas. Yang penting kini ia sudah memiliki hasil yang lumayan, dari pada
sebelumnya. Batinya
Ia teringat akan janjinya
pada Pak mandor tempo hari. Ia merenung, batinya bergejolak. Apakah ia harus
menerima tawaran menjadi tukang bangunan, ataukah ia menolaknya karena ia kini
telah memiliki usaha dagangan. Kalau ia menolaknya, itu berarti ia tidak
mensyukuri nikmat Allah. Banyak orang di luar sana yang membutuhkan pekerjaan.
Sebuah ide terpikir di benaknya. Ia panggil istrinya. Ia berdiskusi dengan
perempuan yang setia menemani hidupnya itu. Ia ingin istrinya sementara
menggantikan berjualan, sedang ia bekerja di pembangunan. Setelah tugasnya
selesai, ia akan kembali mengambil alih dagangannya. Tapi ia masih takut bila
preman pasar itu kembali mendatanginya. Istri Pak Rohim dengan ikhlas dan patuh
menerima amanat yang di berikan suami tercinta. Baginya, tak ada yang lebih
membahagiakan selain dapat membantu dan berbakti pada suami. Selama ini,
suaminya yang banting tulang, memeras keringat untuk mencukupi kehidupannya. Kali
ini saatnya untuk ikut andil dalam meringankan beban suaminya. Agar dapur
keluarga mereaka tetap dapat mengepulkan asap. Tegasnya dalam hati.
Pagi itu mentari datang lebih cepat. Pak Rohim dan istrinya bersiap
berangkat bekerja. Tak lupa Dinda anak semata wayangnya juga ikut dibawa. Agar
ia bisa belajar menghadapi kenyataan hidup yang begitu keras ini. Agar
mentalnya tertata sejak dini. Pak Rohim menghampiri istri dan anaknya. Perlahan
ia mendekatkan wajahnya pada pendamping hidupnya. Ia kecup keningnya. Lalu
turun. Dan mengecup lembut wajah anaknya. Bismillah.... Mereka berjalan
beriringan. Dengan niat fii sabilillah mereka menantang kerasnya kehidupan
jalanan kota Atlas.
Semarang, 20
Desember 2011
0 comments:
Post a Comment