RSS

Siluet Jingga

Selamat Datang di Telaga Inspirasiku....
Semoga kalian menikmati dan menemukan beribu Hikmah di Setiap Jengkal Telaga Inspirasiku..

Join This Site and Load The Guess Book


Rumah Kertas di Kota Atlas



By : Raihan Alam
Awan bergumul membentuk sebuah lukisan di langit biru. Sisa-sisa hujan membekas dalam pancaran pelangi yang membentang jauh menancap bumi. Gemerlap lampu kehidupan kota Atlas menjadi sebuah pemandangan yang kontras dengan kehidupan jalanan yang selalu membayangi. Seorang lelaki tua mengayuh sepedanya ke sebuah rumah kecil berdinding papan yang dihiasi dengan kertas-kertas warna. Dilihat dari jauh rumah itu bagaikan istana kertas yang bersembunyi di bawah sebuah jembatan tua. Banyak warga miskin sepertinya yang tak punya tempat berteduh dan terpaksa hidup di kolong jembatan. Mereka menyulap kolong jembatan yang kotor menjadi tempat tinggal yang nyaman serta menghiasi dindingnya agar mereka betah tinggal disana. Sebuah langkah kaki kecil mendekatinya. Lelaki tua itu tersenyum.
“Bapak sudah pulang. Ibu, Bapak pulang....” teriaknya girang. Gadis kecil itu memeluk erat dalam dekapan bapaknya.
“Ibu mana? Dinda sudah makan?” tanya lelaki itu. Gadis kecil bernama Dinda itu hanya bisa menggeleng pelan. Ada raut bias di mata lelaki itu. Ia tahu, hari ini ia belum memberikan apa-apa untuk keluarganya. Ia merogoh saku celananya. Berharap menemukan sesuatu untuk diberikannya pada istri tercinta. Namun tiada yang dapat ia temukan, selain selembar uang lima ribuan. Hasil dari menukarkan besi tua yang ia cari sehari ini. Ia sadar pekerjaanya sebagai tukang besi tua tidaklah begitu menjanjikan. Ia tak akan bisa mengangkat derajat ekonomi keluarganya. Ia pandangi sepeda tua yang setia menemani perjalanan hidupnya, besinya sudah karatan. Beberapa bagian sudah aus dan minta diganti. Tapi ia tak ada uang untuk memperbaikinya. Untuk kehidupan sehari-harinya saja terkadang masih belum terpenuhi. Apakah nasib sepeda ini nanti akan berakhir di penukaran besi tua. Pikirnya dalam hati. Sepeda itulah penopang kehidupan mereka. Ia saksi bisu akan kerasnya perjuangan yang dialami oleh penunggangnya. Orang-orang pinggiran seperti dirinya sebenarnya belum siap menjadi orang kota karena modalnya pas-pasan. Bahkan seringkali dianggap pemerintah sebagai sampah. Namun ia tak sanggup berbuat apa-apa. Yang ia bisa hanyalah berdo’a dan berusaha.
“Pak Rohim. Bisa tolong bantu saya? Lampu di rumah mati, saya nggak bisa benerin.” suara wanita muda membuyarkan lamunanya. Ia cepat-cepat merubah posisi duduknya. Ia lalu mengikuti langkah perempuan itu. Rumahnya tak seberapa jauh. Di kampung itu, Pak Rohim terkenal ramah dan suka menolong. Warga pun tak segan untuk memintanya mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak mereka kuasai.
Malam semakin gelap, ketika Pak Rohim bercengkrama dengan anak dan istrinya. Meski kehidupannya serba susah, ia tak pernah mengeluh. Ia selalu memberi teladan bagi keluarganya, agar tetap bergembira meski dalam keadaan sesulit apapun.
“Bu, seandainya Bapak menjual sepeda itu, lalu uangnya kita jadikan modal untuk berdagang, menurut Ibu bagaimana?” tanya Pak Rohim pada istrinya. Hal yang selalu membuat istrinya takjub adalah perilaku Pak Rohim yang santun dan terbuka. Ia selalu mempertimbangkan suatu hal pada keluarga sebelum ia mengambil keputusan. Sebuah kepala keluarga yang berjiwa besar.
“Ya, kalau menurut Bapak itu baik, Ibu manut saja Pak.” jawab istrinya lembut.
“Begitu ya Bu. Kalau begitu nanti Bapak pikirkan lagi. Sekarang kita tidur. Sudah larut malam.” mereka pun masuk ke rumah kertas. Tenggelam dalam peraduan sunyi. Ditemani senandung nyanyian alam dari makhluk penguasa malam.
* * *
Pagi belum juga menampakkan sinarnya. Hawa malam masih terasa menusuk kulit. Namun sepeda tua Pak Rohim sudah berdiri gagah menunggu penunggangnya. Pak Rohim melajukan sepedanya menyusuri bantaran kali Semarang. Jalan yang ia lalui lebarnya hanya sekitar tiga meter. Itu pun hanya mampu dilewati oleh satu sepeda motor. Belum lagi bangunan yang terbuat dari papan dan triplek yang berjajar sepanjang jalan. Terlihat sebagian orang sibuk bolak-balik membongkar perabotan rumahnya. Mereka mengumpulkan barang-barang mereka dalam gerobak. Pak Rohim menghentikan laju sepedanya. Ia menghampiri seseorang yang tengah sibuk menumpuk kayu dan seng dalam sebuah karung besar.
“Ada apa ini Pak, kok pada bongkar-bongkar?” tanya Pak Rohim heran.
“Ini mau pindahan Pak. Takut digusur paksa oleh Satpol PP. Beberapa kali mereka kesini memberi peringatan.” jawabnya lugas. Lelaki itu meminta izin untuk menyelesaikan pekerjaannya. Pak Rohim menghela nafas. Dalam. Sudah sering ia mendengar berita tentang penggusuran paksa dengan dalih penertiban. Ia bingung mengapa pemerintah tak pernah memperhatikan nasib orang pinggiran seperti mereka, yang butuh tempat tinggal. Mereka hanya bisa membongkar perkampungan kumuh tanpa dapat memberikan solusi yang lebih baik. Tidak menyediakan tempat gnati yang layak. Maka, jangan heran bila setiap kali penertiban, akan ada kampung-kampung kumuh baru yang menjadi pelarian mereka. Pak Rohim pun melanjutkan perjalanan. Di tengah-tengah jalan, pikirannya berkecamuk. Ia takut hal yang sama terjadi pada warga di kampungnya. Ia tak pernah berharap. Ia susuri lorong demi lorong. Melewati kanal yang memanjang, menyajikan aroma tak sedap dari air yang kotor dan keruh. Dilihatnya sebuah besi tua terongok di pinggiran kanal. Ia mencoba mengambilnya. Ia nyemplung ke dalam air, berkubang dengan limbah dan sampah demi sebatang besi yang beratnya hanya beberapa kilogram. Pak Rohim tak menghiraukan pandangan pejalan kaki, maupun warga sekitar yang memandang sinis ke arahnya. Yang terpenting baginya adalah hari ini ia bisa membawa pulang hasil jerih payah untuk anak dan istrinya di rumah. Dengan celana yang basah, ia melanjutkan perjalanan.
Saat ia memasuki kawasan kota lama, ia melihat sebuah bangunan tengah dalam masa renovasi. Dengan beberapa pekerja yang sedang mempoles dinding luarnya. Ia mendekat, dan bertanya pada mandornya agar di perkenankan untuk bergabung meski cuma sehari.
“Saya siap dibayar berapapun Pak, asalkan saya bisa bekerja disini barang sehari” kata Pak Rohim meyakinkan. Ia memang butuh uang. Jadi apapun akan ia lakukan selagi caranya halal. Dengan berat hati pak mandor mengizinkannya.
“Besok lusa, kamu kesini lagi yah. Kami memang sedang mencari pengganti seorang pekerja kami. Ini bayaranmu hari ini.” kata Pak mandor seraya memberikan uang lima puluh ribu kepada Pak Rohim. Ia senang bukan kepalang, seketika itu ia mencium tanah, bersujud sebagai bentuk syukur atas anugrah Allah yang tak disangka itu. Ia pun berterimakasih lalu berlalu pulang. Ingin ia cepat pulang dan memberikannya pada istri dan anak di rumah.
Selepas maghrib, Pak Rohim membicarkan lagi hal tentang menjual sepeda dan niatnya untuk berdagang kecil-kecilan. Dengan rezki yang ia peroleh hari ini, dan atas izin sang istri, ia pergi mencari tempat yang cocok buat daganganya besok. Di pelataran masjid Baiturrahman lah tempat yang dipilih. Malam itu juga ia mendirikan tenda, mencari kayu yang berserakan di sekelilingnya. Untuk hari pertamanya berjualan, tak perlu besar. Cukup sederhana saja. Yang penting ada niat.
“Loh, apa-apaan ini? Kok semuanya berantakan?” kata Pak Rohim panik. Ia heran melihat paginya, tenda yang susah payah didirikan semalaman, porak-poranda di robohkan orang. Ia bertanya pada pedagang samping kanan-kirinya. Tapi tak ada yang tahu. Akhirnya ia terpaksa mendirikan kembali bangunan itu.
Tiba-tiba dua orang preman mendatangi tendanya dan menggebrak meja.
“Hey! Bapak jangan seenaknya mendirikan jualan disini! Ini wilayah kami! Jadi siapapun yang berjualan disini harus izin dulu sama kami! Juga harus membayar uang sewa keamanan!” bentak dua lelaki itu. Pak Rohim tak mengerti apa yang terjadi.
“Apa kalian bilang? Membayar? Dari dulu yang aku tahu, pelataran ini tak ada pemiliknya. Aku sudah memastikan itu semalam. Dan kata pihak masjid dibolehkan.” jelas Pak Rohim dengan nada tinggi. Tentu saja ia tak terima. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Ia merasa punya hak untuk berdagang di mana saja.
“Jangan membangkang! Bayar atau kami hancurkan dagangan Bapak!”
“Silahkan kalau berani! Saya tidak takut!” Pak Rohim bersiaga.
Pak Rohim menghadang laju kedua lelaki itu, namun tak disangka beberapa preman datang membantu dan meluluh lantakkan modal Pak Rohim yang baru saja dibeli dengan uang hasil keringatnya. Dengan tanpa perasaan preman-preman itu membanting barang dagangan yang belum sempat dijual. Lalu mereka pergi setelah puas membuat Pak Rohim babak belur. Tak ada yang berani mencegah. Apalagi menolong. Hati Pak Rohim terenyuh melihatnya. Kenapa setiap orang membiarkan ketidak adilan ini. Apa meraka pura-pura tidak tahu, agar keselamatan mereka terjamin. Sungguh biadab orang-orang seperti mereka. Pak Rohim merintih kesakitan.
Alhamdulillah, di hari pertamanya berjualan, Pak Rohim  mampu mengantongi  penghasilan uang yang bisa digunakannya untuk menyambung hidup keluarga. Istrinya memperhatikan wajah Pak Rohim yang hitam lebam di beberapa bagian.
“Bapak habis di keroyok preman yah? Kok luka-luka?” tanya istrinya penuh selidik. Ia menyentuh lembut dagu lelaki itu. mengusapnya pelan.
“Nggak apa-apa Bu, cuma sedikit kesalah pahaman.” jawabnya enteng. Ia lalu duduk di luar rumah. Memandang jauh ke arah langit malam. Kini tak ada lagi sepeda tua yang menghiasi istana kertasnya. Tapi tak apa lah, ia ikhlas. Yang penting kini ia sudah memiliki hasil yang lumayan, dari pada sebelumnya. Batinya
 Ia teringat akan janjinya pada Pak mandor tempo hari. Ia merenung, batinya bergejolak. Apakah ia harus menerima tawaran menjadi tukang bangunan, ataukah ia menolaknya karena ia kini telah memiliki usaha dagangan. Kalau ia menolaknya, itu berarti ia tidak mensyukuri nikmat Allah. Banyak orang di luar sana yang membutuhkan pekerjaan. Sebuah ide terpikir di benaknya. Ia panggil istrinya. Ia berdiskusi dengan perempuan yang setia menemani hidupnya itu. Ia ingin istrinya sementara menggantikan berjualan, sedang ia bekerja di pembangunan. Setelah tugasnya selesai, ia akan kembali mengambil alih dagangannya. Tapi ia masih takut bila preman pasar itu kembali mendatanginya. Istri Pak Rohim dengan ikhlas dan patuh menerima amanat yang di berikan suami tercinta. Baginya, tak ada yang lebih membahagiakan selain dapat membantu dan berbakti pada suami. Selama ini, suaminya yang banting tulang, memeras keringat untuk mencukupi kehidupannya. Kali ini saatnya untuk ikut andil dalam meringankan beban suaminya. Agar dapur keluarga mereaka tetap dapat mengepulkan asap. Tegasnya dalam hati.
Pagi itu mentari datang lebih cepat. Pak Rohim dan istrinya bersiap berangkat bekerja. Tak lupa Dinda anak semata wayangnya juga ikut dibawa. Agar ia bisa belajar menghadapi kenyataan hidup yang begitu keras ini. Agar mentalnya tertata sejak dini. Pak Rohim menghampiri istri dan anaknya. Perlahan ia mendekatkan wajahnya pada pendamping hidupnya. Ia kecup keningnya. Lalu turun. Dan mengecup lembut wajah anaknya. Bismillah.... Mereka berjalan beriringan. Dengan niat fii sabilillah mereka menantang kerasnya kehidupan jalanan kota Atlas.
Semarang, 20 Desember 2011

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment